MENTERI ESDM ARIFIN TASRIF: Kendaraan Listrik Signifikan Pangkas Emisi Karbon (Bagian I)

LISTRIK INDONESIA | Kendaraan bermotor menjadi salah satu penyumbang emisi karbondioksida (CO2) terbesar saat ini, terutama di kota-kota besar. Apalagi di kota besar yang identik dengan kemacetan semakin meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sehingga kian menambah pencemaran udara.
Ditambah dengan penggunaan BBM beroktan rendah seperti Premium (RON 88) yang kurang ramah terhadap lingkungan. Sebagai contoh, saat ini pengguna Premium di wilayah Jawa dan Bali masih sekitar 14% dari total konsumsi BBM jenis gasoline. Oleh karena itu, dunia mengatur tentang standard BBM yaitu Euro 2, Euro 3, Euro 4, Euro 5, dan Euro 6 agar emisi yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor bisa diminimalisir.
Selain mendorong penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan, pemerintah terus membangun transportasi massal berbasis listrik, seperti Bus Rapid Transit (BRT) di DKI Jakarta, Light Rail Transit (LRT) di DKI Jakarta dan Kota Palembang, Mass Rapid Transit (MRT) di Jakarta, dan rencana di kota-kota besar lainnya.
Di sisi lain, Indonesia telah berkomitmen dalam Paris Agreement yang ditandatangani pada tanggal 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat, yang sekaligus menyatakan kesediaannya untuk meratifikasi Paris Agreeement dengan besaran emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia adalah 0,554 Gt CO2eq setara dengan 1,49% total emisi global.
Indonesia berkomitmen melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan emisi sebesar 29% di bawah upaya apapun atau business as usual pada tahun 2030 dan dapat dinaikkan sampai 41% dengan kerja sama internasional. Dalam NDC dijelaskan tentang lima kategori sektor dan proporsi kontribusinya dalam upaya penurunan emisi. Sektor kehutanan (17,2%), energi (11%), pertanian (0,32%), industri (0,10%), dan limbah (0,38%).
Adapun, jalur Indonesia menuju dekarboninasi salah satunya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan ambisi untuk melakukan transformasi bauran penyediaan energi utama, di tahun 2025 dan 2050.
Langkah lainnya yang ditempuh adalah transisi energi dari energi fosil menuju energi terbarukan (renewable energy). Salah satunya mendorong ekosistem kendaraan listrik berbasis beterai (electric vehicle). Penggunaan kendaraan listrik dipastikan mampu mengurangi emisi sangat besar.
Padahal, negara lain di dunia, terutama Eropa, mulai gencar memproduksi kendaraan listrik. Volume kendaraan listrik di dunia terus bertambah setiap tahun. Namun, progres kendaraan listrik di Indonesia, baik roda dua maupun roda empat, masih berjalan lambat.
Pemerintah China misalnya, sangat mendukung pengembangan kendaraan listrik. Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), China saat ini berada di posisi terdepan dalam penggunaan kendaraan listrik.
Kendaraan listrik ini sangat sejalan dengan visi Indonesia untuk meningkatkan bauran energi (energy mix), yaitu transisi dari energi fosil ke energi bersih yang terbarukan. Selain itu, kendaraan listrik diharapkan mampu menurunkan emisi karbon secara signifikan. Bahkan, kendaraan listrik ini bisa mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM dan minyak mentah. Saat ini, Indonesia masih menjadi net importer minyak mentah dan BBM. Selain itu, lifting minyak diproyeksikan terus turun karena ada penurunan produksi secara alamiah (natural decline) blok migas.
Indonesia memiliki potensi sangat besar dalam pengembangan kendaraan listrik.
Pertama, pasar besar. Indonesia menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara, yaitu 60% pasar Asia Tenggara berada di Indonesia. Kedua, memiliki sumber daya alam, nikel dan bauksit, sebagai bahan baku baterai dan komponen elektrik kendaraan listrik. Hilirisasi nikel akan meningkatkan nilai tambah yang dinikmati oleh masyarakat.
Ketiga, menurunkan ketergantungan impor BBM dan minyak mentah. Sampai saat ini, Indonesia menjadi net importer BBM dan crude. Kendaraan listrik bisa menghemat devisa negara.
Keempat, menarik investasi asing maupun domestic, yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kelima, kelompok kelas menengah (bonus demografi) Indonesia bakal meningkat sehingga daya beli masyarakat akan meningkat. Hal ini tentu menjadi keuntungan bagi para produsen kendaraan listrik.
Keenam, UMKM dapat dilibatkan dalam menyediakan komponen kendaraan listrik. Ketujuh, emisi karbon Indonesia dapat diturunkan yang bisa menjadi daya tawar Indonesia di kancah global.
Pemerintah sebagai regulator harus mendorong akselerasi kendaraan listrik. Misalnya melalui regulasi yang mendukung pelaku usaha dan insentif. Pemerintah juga telah merilis paying hukum dalam pengembangan kendaraan listrik melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa Perpres No. 55/2019 bertujuan untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik melalui kerja sama antarkementerian, lembaga, instansi, dan stakeholder lainnya.
Terkait dengan koordinasi dalam percepatan penggunaan kendaraan listrik, menurutnya, untuk unit kendaraan listrik menjadi domain Kementerian Perindustrian. Sementara itu, lanjutnya, Kementerian ESDM memberikan masukan dari sudut pandang ketahanan dan kemandirian energi dan target ke depan menuju karbon netral.
Saat ini, di Indonesia terdapat sekitar 15 juta kendaraan penumpang roda empat (mobil pribadi), dan kendaraan roda dua (sepeda motor) sebanyak 112 juta unit.
“Kami berkepentingan untuk penurunan emisi. Kendaraan bermotor mengakibatkan emisi yang cukup besar, yaitu lebih dari 150 juta ton CO2 atau sekitar 8,4% dari total emisi nasional,” ujarnya kepada Listrik Indonesia, Jumat (2/7).
0 Komentar
Berikan komentar anda